Menjaganya Untukku
Rabb, maukah Engkau
menjaganya untukku?
Aku memang belum pantas untuknya saat ini,
tapi sungguh, aku akan bertekad untuk terus memperbaiki diri.
Bukan hanya demi ia,
atau karenanya. Tapi, semua ini aku lakukan hanya untuk meraih ridho dan
cinta-Mu
Rabby, jagalah ia
untukku
Jaga hati dan langkahnya untuk selalu
istiqomah di jalan-Mu.
Maka aku pun akan menjaga langkah dan hatiku
untuk senantiasa terpaut pada jalan-Mu. Jagalah hati kami, agar cinta ini
takkan melebihi cinta kepada-Mu.
Kami pun takkan bertemu tanpa kehendakmu.
Bukankah pertemuan yang
indah itu, hanya pertemuan yang Engkau rencanakan? Pertemuan yang Engkau
ridhoi, yang terjadi atas titah dan kehendak-Mu.
Maka pertemukanlah kami
kembali di waktu yang tepat juga dalam langkah yang tepat.
Langit malam bertasbih
kepada Sang Pencipta. Bintang yang bertahta di atasnya pun ikut pula bertasbih.
Memuja penuh syahdu kepada Sang Pemilik Tahta. Puncak malam telah lewat sudah.
Banyak manusia yang masih terbuai dalam tidur panjangnya. Dan hanya sedikit,
orang-orang yang mau bersimpuh, memohon kepada Sang Maha Kuasa.
Malam ini, sebagaimana
malam-malam sebelumnya, sebuah doa terpanjat dari lisan seorang pemuda. Dengan
hati penuh harap dan pasrah, ia larut dalam doa. Berharap inilah jalan terbaik
yang harus ia tempuh. Memori dalam benaknya berputar. Mengingatkannya akan
sebuah kenangan yang terpatri jelas dalam benaknya.
*-----*-----*
“Honestly, I say to
you. There’s a new seed in my heart, and I think it’s gonna be flower soon.”
Ungkapan Ahas berhasil
membuat Fadly menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Kamu lagi jatuh hati
sama siapa?”
Ahas hanya diam
membisu. Sorot matanya mencoba menyembunyikan sesuatu dari sahabat sekaligus
kakak kelasnya itu.
“Main rahasia-rahasiaan
nih, sekarang,” ledek Fadly
Seberkas senyuman
terlukis di wajah Ahas.
“Hmm, nanti juga Kakak
bakal tau, kok,” ujarnya masih dengan senyuman misterius.”tapi, sekarang Ahas
malah bingung harus gimana.”
“Emangnya kamu maunya
gimana?”tanya Fadly dengan nada meledek.
“Itu dia, Kak. Ahas
bingung harus bersikap gimana, sekarang. Semakin hari, virus itu semakin
menguasai hati.”
“Itu fitrah, Has. Nggak
mungkin kamu menghindar darinya. Be calm! Asalkan nggak lari dari koridor, I
think it’s ok.”
Ahas terdiam. Ia tampak
memikirkan kata-kata Fadly barusan.
“Emangnya kamu serius
sama dia? Udah bisa janjiin apa? Udah berani ngehadap ortunya?”
Berondongan pertanyaan
dari Fadly sukses membuat Ahas menghela
nafas tanda menyerah.
“Itulah, Kak. Ahas
takut ini cuma sesaat. Takut, setan malah terus menggoda dan menyelinap antara
kedekatan kami, menyusup halus dalam virus ini.”
Senyuman di wajah Fadly terkembang sempurna.”Kalau
kamu bener-bener mencintai dia, seharusnya kamu ngejaga kesuciannya. Dengan
nggak ngedeketin dia lebih jauh, dan ngebuka peluang setan buat nyelinap dalam
keakraban kalian,” saran Fadly.
“Jadi?” Ahas menatap
Fadly penuh tanda tanya. Seolah memastikan apa yang ada di fikirannya benar.
Fadly mengangguk
mantap.”Itu keputusan terbaik saat ini, Has. Berat memang, tapi hanya inilah
yang bisa kamu lakukan,” ujar Fadly sambil menepuk pundak Ahas, menegarkan.
Ahas tersenyum getir.
Pandangannya menerawang jauh ke ufuk senja. Akankah kisahnya harus segera
berakhir secepat keindahan langit senja yang hanya sesaat?
*-----*-----*
Langit senja mulai temaram, dan semakin gelap
dengan awan mendung yang menggantung di kaki langit. Ahas menatap rintik hujan
yang jatuh membasahi kaca jendela pesawat. Akhirnya, ia kembali ke tanah kelahirannya.
Tanah yang ia rindukan bertahun-tahun untuk
bisa menghirup udara tropisnya yang menyejukkan. Tanah yang menyimpan sejuta
kenangan, terekam jelas di memori dalam benaknya. Ahas menghela nafas. Setelah
perjalanan hampir 21 jam, kini berbagai
macam kemungkinan berkelebat dalam benaknya. Malam-malam sebelumnya, ia selalu
bermunajat, memohon keteguhan hati untuk bisa menginjakkan kaki dengan penuh
ketenangan di tanah yang ia rindukan.
Namun kini? Beban dalam hati dan fikirannya bertumpuk-tumpuk. Bukannya tak
senang kembali ke tanah air, tapi masih ada sebuah pertanyaan besar dalam
benaknya yang menuntut untuk segera dijawab.
Ahas berjalan sambil
membawa kopernya. Ia mengedarkan pandangan ke arah para penjemput yang berjejer di luar pintu
kedatangan. Seseorang yang amat familiar menghampirinya dengan senyuman
terkembang.
“Welcome back, Has!”
ujar Fadly
Ahas memaksakan sebuah
senyuman terbit di wajahnya.
“Kamu kenapa? Kok nggak seneng gitu, kayaknya
balik ke Indonesia? Udah betah di Sudan ya?”ledek Fadly.
Ahas tertawa kecil.”Kalau
bukan karena Bunda, mungkin Ahas lebih milih buat nggak pulang, Kak.”
“Sejauh apapun kamu
pergi, Has. Kamu pasti akan kembali. Kembali lagi ke sini, ke tanah di mana
semua impianmu berasal,” kata Fadly.
Ahas terdiam. Kenangan
dalam benaknya mengalir seperti rintik hujan yang saling berkejaran di luar
sana. Sebuah nama terbersit dalam fikirannya. Sebuah nama yang berhasil
membuatnya pergi, dan kembali.
*-----*-----*
“Dirimu bagaikan
sekuntum bunga,
Yang untuk
mendapatkannya harus berkorban penuh penderitaan
Dirimu juga bagaikan
bulan purnama,
Yang penuh dengan
kemuliaan
Impian untuk
mendapatkan kemuliaan itu sedalam lautan
Dan impian itu, takkan
hilang seiring waktu yang berlalu”
Seorang gadis berjilbab putih tersenyum saat
membaca sebuah kertas di tangannya. Sepertinya, kertas itu amat berarti
baginya. Sebuah lukisan sederhana dengan goresan pensil, serta sebait syair
dengan kata-kata indah tadi. Sudah hampir empat tahun berlalu. Namun seberkas
rasa yang dihadirkan kertas itu tetap sama. Menggetarkan, menyentuh relung hatinya.
Gadis itu menatap
rintik hujan yang masih jatuh satu-satu. Awan mendung tak lagi menggelayuti
kaki langit. Hanya jingga kemerahan yang kini berkuasa sepenuhnya. Seberkas
pelangi muncul dari balik awan senja. Mungkinkah kisahnya akan berakhir seindah
pelangi senja kali ini?
Gadis itu menghela
nafas. Sebuah rasa kini berhasil menyelinap dan menginvasi hatinya. Rindu?
Benarkah rasa itu? Sudah bertahun-tahun berlalu, namun entah mengapa rasa itu
masih sama. Tersimpan rapi dalam palung hati. Meskipun jarak memisahkan
begitu jauh. Meskipun sedikit demi
sedikit harapan itu mulai pupus. Namun, ia tetap menunggu. Di sini, dengan
segenap perasaan dan sebuah tanda tanya besar dalam benaknya.
Bukankah semakin jauh
jarak dan waktu memisahkan, rasa itu justru semakin kuat?
Karena api kerinduan
itu masih ada, dan tetap menyala.
Ia pun selalu setia
menunggu dalam penantian,
Untuk segera dipadamkan
dengan sebuah pertemuan
*-----*-----*
“Sst, Nur! Buatin
minum, ada Rahman di depan,” bisikan Kak Arief, kakak pertamanya membuat Nur
mengalihkan fokus dari laptop di hadapannya. Ia segera bangkit dan melaksanakan
perintah Kak Arief. Nur melangkah ke
ruang tamu sambil membawa nampan berisi minuman.
“”Nur, duduk dulu.
Rahman mau ngomong sesuatu sama kamu.” Kata-kata Buya menghentikan langkah Nur.
Ia lalu duduk di samping Buya.
“Gimana skripsinya,
Nur? Udah selesai?”tanya Kak Rahman
“Alhamdulillah,
seminggu lagi sidang Munaqosah, Kak.”
“Alhamdulillah,”sahut
Rahman
“Ada ikhwan yang mau
ta’arufan sama kamu, Nur.” Ujar Buya.
“Iya, dia adek kelas
Kakak sewaktu di pondok dulu. Hafiz, lulusan Sudan, jurusan tafsir-hadits.
Sepertinya bakalan cocok sama Nur,” jelas Rahman.
Nur tersenyum tipis.
Sebenarnya banyak tawaran seperti ini ia
alami. Namun, hampir semuanya ia tolak. Alasannya, ia ingin fokus kuliah dulu.
Tapi kini? Ia tak bisa lagi mencari-cari alasan untuk menolak tawaran
sepupunya, Rahman. Lagi pula, studinya akan segera selesai. Tak ada lagi amanah yang mengganjal di hatinya.
“Gimana, Nur? Kalau Nur
setuju, nanti Kakak konfirmasi ke dia. Biar kalian bisa saling tukar risalah
diri sebelum ketemu,” jelas Rahman lagi.
Nur mengangguk
kecil. Rahman tersenyum melihat respon
dari adik sepupunya itu.
“Oke, nanti Kakak
konfirmasi ke orangnya. Risalah dirinya nanti aja, setelah Nur selesai sidang
munaqosah. Biar nggak ganggu fokus,”saran Rahman.
Buya mengangguk
setuju.”Sekarang fokus dulu buat ujian skripsinya,” sahut Buya.
Nur pamit kembali masuk
ke kamar. Ia menghela nafas. Ini saatnya untuk menghapus jejak rasa itu dari
hatinya. Dan membuka ruang baru untuk sebuah rasa yang akan bersemi dalam
langkah yang tepat, di waktu yang tepat.
Di ruang tamu, Arief
dan Rahman masih asyik berbincang.
*-----*-----*
Langit biru membentang
luas, sejauh mata memandang. Mentari bersinar teduh, memberikan ketenangan ke
hati Ahas yang sedang berjalan menyusuri koridor pelataran masjid. Berada di
sini, membuat kenangan dalam benaknya berputar. Ia teringat pada sosok yang
telah memotivasinya hingga ia bisa menjadi seperti ini. Sosok yang membuatnya
melangkah pergi, namun juga menuntunnya untuk kembali. Ahas mengedarkan
pandangannya ke taman samping masjid. Di bawah pohon, seorang akhwat berjilbab
putih sedang asyik dengan laptopnya. Ahas memerhatikan sosok itu. Mungkinkah
akhwat itu dirinya? Hati Ahas sempurna bertanya-tanya.
Sedangkan akhwat itu,
masih asyik membaca ulang referensi yang ia gunakan dalam skripsinya. Semilir
angin memainkan ujung jilbab putih akhwat itu. Ia memerhatikan sekeliling.
Suasana masjid kampus yang tenang saat pagi hari, membuatnya betah berlama-lama
duduk di bangku taman di bawah pohon rindang ini. Tak hanya suasana, namun
kenangan yang tersimpan di taman ini, selalu mampu memotivasinya saat terpuruk.
Nur teringat saat ia pertama kali menginjakkan kaki di masjid ini.
*-----*-----*
“Maafin Ahas, Nur.
Mungkin setelah ini…Ahas nggak bakal kontak Nur lagi. Bisa jadi sebentar, atau
mungkin selamanya.”
Kata-kata dari sosok di
hadapannya membuat Nur terdiam.
“Tapi kenapa, Has? Apa
Nur punya salah sama Ahas?”
Ahas menggeleng.”Nggak,
Nur. Nur nggak punya salah apa-apa. Hanya saja, sepertinya virus ini mulai
menyelinap dalam keakraban kita. Dan Ahas takut, takut kalau syetan menyusup
halus dalam virus itu.” Ia menghela nafas.”Ahas nggak mau fitrah ini pada
akhirnya malah menjerumuskan kita pada fitnah, Nur.”
Ahas menatap Nur yang
masih saja menunduk.
“Sekarang, sebelum Ahas
pergi, Ahas minta Nur buat ngelupain Ahas.Ahas nggak mau Nur terlanjur
berharap. Ahas takut, nantinya malah bakal nyakitin Nur. Lupain Ahas, Nur. Ahas
yakin, akan ada yang lebih baik buat Nur nantinya.”
Bulir-bulir bening
sudah mengantri di pelupuk mata Nur. Ahas menyodorkan sebuah amplop biru muda.
Nur mengangkat wajah. Mencoba menahan tangisnya yang hampir pecah.
“Apa ini?” tanya Nur
“Hadiah kecil. Nggak
mahal memang, tapi semoga aja berarti,” jawab .Ahas dengan senyuman tipis. Nur
mengambil amplop itu.
“Tapi, abis dibaca
jangan disimpen, ya. Buang aja, atau bakar sekalian,” ujar Ahas
“Kenapa?”
“Karena Ahas nggak mau
kertas itu malah menjadi pengantar kenangan yang menyakitkan buat Nur.”
Nur kembali menunduk.
Sosok di hadapannya benar-benar tak bisa ditebak.
“Ahas pamit, ya. Maafin
Ahas kalau ada kata-kata atau sikap Ahas yang menggoreskan luka di hati Nur.
Doain Ahas, ya. Biar bisa selesai studi tepat waktu.
Nur hanya mengangguk
pelan.
“Satu lagi, Nur. Ahas
mohon, jangan pernah nunggu Ahas. Karena mungkin, Ahas nggak akan kembali.”
Bulir bening jatuh
membasahi pipi Nur tanpa bisa ia cegah.
*-----*-----*
“Nur?”
Sebuah panggilan dengan
nada memastikan membuyarkan lamunan Nur. Ia refleks menoleh ke asal suara.
Sosok itu…benarkah sosok itu kini ada di hadapannya? Nur langsung menunduk.
“Ini Nur, kan?” sosok
itu kembali memastikan.
Nur hanya mengangguk. Suara itu, wajah itu,
sebuah nama yang senantiasa ia selipkan dalam doa di sujud-sujud panjangnya.
“Ahas?” Nur balik
bertanya, memastikan. Sosok itu tersenyum tipis.
‘Iya, ini Ahas,”
jawabnya tegas dan pasti.
Nur menghela nafas.
Mencoba menetralisir hatinya yang luluh seketika.
“Kapan pulang dari
Sudan?”tanya Nur
“Udah hampir seminggu
yang lalu. Nur sendiri gimana kuliahnya?”
“Alhamdulillah, tiga
hari lagi sidang munaqosah..”
“Wah, sukses buat
sidangnya, ya.” Sahut Ahas pelan.
Ia sendiri mencoba
menata hatinya. Sebuah pertemuan yang sangat ia harapkan, tapi entah mengapa
tak pernah sanggup ia impikan. Apalagi mengalaminya. Sungguh, Ahas tak siap
dengan semua kebetulan ini. Keheningan menguasai mereka beberapa saat.
“Kenapa antum kembali?”
Pertanyaan dengan nada menggantung itu, berasal dari sosok berjilbab putih di
hadapan Ahas.
“Apa?” Ahas balik
bertanya, tak mengerti.
“Kenapa antum kembali?
Antum pernah bilang nggak akan kembali lagi. Tapi sekarang? Kenapa antum
kembali?” Suara itu semakin terdengar menuntut jawaban.
“Karena semua yang
pergi pasti akan kembali, Nur. Dan langkah ini tertuntun untuk kembali ke sini.
Ke tanah di mana semua impian Ahas lukiskan,” jawab Ahas pelan.
Nur hanya terdiam.
“Nur, masih adakah
jejak rasa itu?” tanya Ahas.
Nur menghela nafas. Tak
tahukah Ahas kalau rasa itu masih ada? Harapan itu masih ada, terpatri kuat
dalam benaknya. Tak berubah sedikitpun, masih sama seperti yang dulu.
Pertanyaan besar masih mengganjal di hatinya.
“Sebelumnya, Ahas harus
jawab pertanyaan Nur….”
Sorotan mata penuh
tanda tanya tersirat lewat tatapan Ahas.
“Kenapa dulu, Ahas
nyuruh Nur buat ngelupain Ahas?”
“Karena Ahas nggak
mau Nur terlanjur berharap. Sedangkan
Ahas sendiri, belum tentu bisa ngewujudin harapan itu. Ahas nggak mau nyakitin
Nur,” ujar Ahas dengan suara lembut.
“Dan sekarang, masih
adakah jejak rasa itu di hati Nur?” tanya Ahas lagi.
“Sesuai permintaan
Ahas,” jawab Nur singkat.
Sesuai permintaannya?
Apakah itu artinya Nur benar-benar telah menghapus rasa itu dari hatinya? Hati Ahas masih saja bertanya-tanya.
“Kalau seandainya Ahas
datang ke rumah, masih adakah … ”tanya Ahas menggantung. Ia tak mampu
menyelesaikan pertanyaannya.
“Maafin Nur, Has. Tapi
sekarang, Nur sedang dalam proses taaruf dengan seseorang. Dan setelah sidang
munaqosah nanti, ia akan datang buat khitbah,” ucap Nur dengan suara bergetar.
Ahas menghela nafas.
Pertanyaannya kini terjawab sudah. Kecewa, memang. Tapi ia harus siap dengan
berbagai kemungkinan. Bukannya dia sendiri
yang meminta Nur untuk melupakannya. Lagipula, bukankah ia telah
melepaskan semuanya? Melepaskan rasa yang telah bersemi sebelum waktunya.
“Owh, selamat ya.
Semoga dialah yang terbaik yang Allah tetapkan buat Nur.”
Nur mengamini dalam
hati. Meskipun hatinya seakan diiris sembilu. Andai saja, Ahas kembali sebelum
ia mendapat tawaran dari Kak Rahman, pasti ia takkan menikam hatinya dengan
kejam seperti ini. Memaksakan membunuh rasa ini hingga hilang tanpa jejak, tak
berbekas.
“Kalau walimah, jangan
lupa undang Ahas, ya,” ujar Ahas ringan.
Nur menatap Ahas. Ahas
tersenyum riang. Senyuman yang tampak dipaksakan. Sedangkan sorot matanya
menyiratkan kekecewaan yang mendalam.
Nur tersenyum
tipis,”Insya Allah.”
Adzan zhuhur
berkumandang. Ahas segera pamit dan masuk ke dalam masjid. Nur masih saja
mengamati sosoknya hingga sosok itu menghilang dari pandangan. Entah mengapa,
pertemuan mereka selalu berakhir menyesakkan. Pertama kali, saat Ahas pamit
untuk kuliah ke Sudan. Saat semua harapan yang tengah bersemi di hatinya
tiba-tiba saja dirontokkan oleh kata-kata Ahas. Memang, maksud Ahas baik. Ia
tak mau mengacaukan fokus Nur kedepannya.
Ia tak ingin menyakiti Nur. Tapi,
meskipun sakit. Dalam diam Nur masih saja menjaga secercah rasa itu.
Menjadikannya motivasi untuk berprestasi dan memantaskan diri.
Siapalah dirinya bila
dibandingkan dengan sosok Ahas Rafi? Sedangkan sosok Ahas sudah begitu sempurna
dengan semua kelebihan dan kekurangannya. Lalu, untuk apa Nur mencari yang
lain? Karena itulah, ia tak pernah mau menuruti permintaan terakhir Ahas
sebelum kepergiannya. Biarlah, ia tetap menjaga rasa ini di sudut hatinya. Sambil terus berdoa dan memperbaiki
diri. Berharap suatu hari nanti, sosok yang selalu ia sebut dalam doa-doanya
akan kembali. Kembali untuk mewujudkan harapan yang telah bersemi di hati.
Tak sadarkah Ahas bahwa
dirinyalah yang telah memotivasi Nur hingga bisa seperti ini? Ahaslah yang
menyemangati Nur agar mau belajar bahasa Arab. Ahas pun begitu sabar
mengajarinya dari dasar. Menyarankan berbagai buku, hingga akhirnya Nur jatuh
hati pada bahasa penduduk langit itu dan memutuskan mengambil sastra bahasa
Arab untuk kuliah sarjananya.
Dan kini, pertanyaannya
terjawab sudah. Tapi sayangnya, sosok yang ia nantikan datang terlambat. Nur
sudah mencoba untuk mengikis rasa dan harapan yang terlanjur terpatri kuat di
dalam hati. Meski sulit, meski sakit. Namun Nur yakin, inilah skenario terbaik
yang Allah tuliskan untuk mereka.
*-----*-----*
Ahas terkesiap saat
melihat nama yang tertulis di kertas dalam genggamannya.
Nurul Himmah?
Mungkinkah itu sosoknya? Ahas kembali mencermati risalah diri yang diberikan
Kak Fadly padanya untuk keperluan taaruf. Tiga hari setelah kepulangannya dari
Sudan, Kak Fadly menawarinya untuk taaruf dengan adik sepupunya. Sarjana sastra
bahasa Arab, hafidzah pula.
Ahas membaca ulang
risalah diri tersebut. Arief Azizy? Bukannya Kak Arief itu kakak pertamanya
Nur? Ahas pernah kenal dan dekat dengan Kak Arief saat beliau bertugas
pengabdian di pondoknya dulu. Apa Nur sepupunya Kak Fadly? Kok Kak Fadly nggak
pernah cerita?
Ahas teringat sesuatu.
Tentang rasa ini, ia memang tak pernah menceritakannya pada siapapun termasuk
pada Kak Fadly, sahabat terdekatnya. Apalagi pada Kak Arief, kakak kandung dari
sosok yang telah memikat hatinya.
Tapi, bukannya Nur
bilang ia akan segera dikhitbah setelah sidang munaqosah? Hati Ahas sempurna
bertanya-tanya. Ia menghela nafas. Sosok itu, sosok yang telah memotivasinya
untuk terus memperbaiki diri jadi lebih baik lagi. Nama yang selalu ia selipkan
dalam doa-doa di penghujung malamnya. Sosok yang telah ia relakan dan lepaskan
demi kebaikan bersama.
Benarkah sosok itu yang
dimaksud Kak Fadly?
*-----*-----*
Jantung Ahas berdetak
kencang. Ia nervous luar biasa. Tangannya basah oleh keringat dingin. Kekhawatiran
memenuhi benaknya.
Fadly Rahman, kakak
kelas, sahabat, dan sekarang menjadi murabbinya tertawa kecil saat melihatnya
lewat kaca depan.
“Santai aja, Has. Nggak
usah tegang gitu,” ujar Fadly.
Ahas tersenyum tipis.
Mobil yang mereka tumpangi telah sampai di pekarangan rumah. Ahas berjalan
dibelakang Fadly. Pintu depan terbuka lebar. Mereka disambut oleh dua orang
laki-laki. Yang satu bersorban putih, Buya.Yang ada disebelahnya berkoko
coklat. Fadly dan Ahas menjabat tangan keduanya.
“Welcome back, Has.” Kata-kata
pelan itu membuat Ahas mengangkat wajah. Sosok yang amat familiar tersenyum
padanya. Sorot matanya penuh keyakinan.
“Selamat datang di
keluarga kami.” Ujar sosok itu lagi.
Ahas masih menatap
sosok itu tak percaya. Sosok dihadapannya tersenyum, melepaskan jabatan
tangannya dan menepuk pundak Ahas.
Buya mempersilahkan
mereka duduk.
“Owh, jadi ini adik
kelasnya Rahman?” tanya Buya pada Fadly memastikan.
“Iya, Buya. Arief juga
kenal orangnya. Pernah sempat dekat waktu pengabdian di pondok Rahman dulu.”
Sahut Arief, sosok yang membuat rasa penasaran Ahas semakin memuncak.
“Rif, panggilin Nur.
Biar kita mulai taarufannya,” titah Buya.
Arief bergegas menuruti
perintah Buya. Ahas hanya menunduk. Mencoba menenangkan hatinya yang
bergejolak. Sesosok akhwat berjilbab putih masuk ke ruang tamu bersama Arief.
“Has, ini adikku Nurul
Himmah.”
Ahas mengangkat
pandangan perlahan. Sosok itu…sosok berjilbab putih yang ada dihadapannya
berhasil membuatnya membeku! Pandangan mereka bersitatap sebentar, lalu
keduanya buru-buru menunduk. Ahas menghela nafas. Mimpikah ini? Benarkah sosok
yang telah ia relakan justru kini ada dihadapannya?
“Kamu nggak mimpi, Has.
Ini beneran Nur, adikku,”sahut Arief seolah bisa membaca isi fikiran Ahas.”ana
udah tahu semuanya, Nur dulu suka cerita. Dan taaruf ini, juga rencana ana dan
Rahman,” pernyataan Arief menjawab semua pertanyaan yang berseliweran dibenak
Ahas.
Nur hanya bisa
menunduk. Pipinya bersemu merah. Sosok yang selama ini senantiasa ia selipkan
dalam doa-doanya, kini ada di hadapannya.
“Buya juga udah tahu
semuanya. Buya salut dengan komitmen kalian. Dan sekarang bagaimana? Mau
dilanjutkan?” ujar Buya mencairkan suasana.
“Bagaimana, Has?” Arief
kembali memastikan.
“Hmm… kalau Nur
bersedia, Ahas insya Allah siap jadi imam buat Nur,” ucap Ahas pelan, tapi
pasti tanpa keraguan.
“Kalau Nur?”
Ahas mengangkat
pandangan. Nur mengangguk pelan tanda setuju. Seberkas senyuman terlukis
sempurna di wajah Buya dan Arief. Fadly ikut tersenyum bahagia. Ahas menghela
nafas lega. Hatinya dipenuhi rasa syukur.
Terimakasih ya, Rabb,
Engkau telah berkenan menjaganya untukku. Dan telah mempertemukan kami di waktu
yang tepat, dalam langkah yang tepat. Bisik Ahas dalam hati.
Bagi orang-orang yang
memahami hakikat cinta yang sebenarnya,
ia takkan menggenggamnya erat-erat penuh keegoisan.
Namun justru
sebaliknya, ia akan dengan tulus dan lapang hati melepaskan rasa itu. Karena,
semakin tulus kau melepasnya, maka semakin sejati cinta itu.
Dan di waktu yang tepat
kelak, jika ia memang cinta sejatimu.
Ada saja takdir indah
yang akan mempertemukan kalian kembali, dengan cara yang mengagumkan.
Komentar
Posting Komentar