Goresan Kenangan
Gerakan tanganku terhenti. Aku menghela napas. Mencoba mencegah
airmata yang hendak tumpah. Ah, entah mengapa aku tak pernah sanggup
menggoreskan pena tentangnya. Padahal, sudah berpuluh-puluh tokoh terlahir dari
karakternya. Bahkan hampir selusin novel terinspirasi dari sosoknya. Tapi entah
mengapa, aku tak kuasa menuliskan kisahku dan dirinya. Dirinya yang terukir
rapi dalam palung hati. Sosok yang memasung relung ini hingga bertekuk lutut
dalam gulungan rindu.
Laksana hujan yang jatuh pasrah ke bumi. Awalnya rintik, disusul
gerimis lantas melebat syahdu. Seperti itulah kenangan kini menderaku. Begitu
sesak untuk ditahan. Begitu mendesak untuk ditumpahkan. Maka kini … meski
berderai air mata, izinkanlah goresan ini menuliskan kisah tentangnya. Sosok
yang kini amat kurindukan kehadirannya …
*---*---*
Jika orang yang jatuh cinta bisa memilih, maka ia pasti akan
memilih untuk tidak jatuh cinta. Tapi sayangnya, kita tak bisa memilih kapan
juga pada siapa kita jatuh cinta. Cinta? Benarkah ini yang dinamakan cinta?
Bahkan aku sendiri ragu untuk mendefenisikannya. Aku tak tahu pasti, apakah
getaran yang mengalun lembut memenuhi relung kalbuku ini pantas disebut cinta.
“Rifqi lagi, Rifqi
lagi. Kamu nggak bisa nulis hal selain dia apa Al?” tanya Melita sebal, saat
membaca lembaran cerpenku yang baru saja selesai.
“Kata siapa cerpen itu buat Rifqi?”
“Memang nggak ada satu kata pun yang jelas menyebut dirinya. Tapi
karakter tokohmu itu, loh. Khas banget. Cerdas, supel juga seabrek
prestasi lainnya. Almost perfect. Persis Rifqi Akhyaril Fata.”
Aku hanya menjawab pertanyaan Melita dengan senyuman kecil.
Sahabatku yang satu ini, bisa saja membaca apa yang tak terlihat.
“Tapi, secara keseluruhan sih, udah bagus. Feel-nya dapet,”
komentar Melita.
Sosok yang kami bicarakan tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapan.
“Alya bisa ngisi rubrik cerpen di majalah bulan ini, nggak?”
Tawaran dari Rifqi, sekretaris redaksi majalah sekolah itu membuatku menatapnya
tak percaya.
“Yang bener nih, Rif?”
Rifqi mengangguk lantas tersenyum tipis,”Kalau udah selesai
langsung email Rifqi, ya. Insya Allah bisa dimuat di majalah bulan depan.”
Tanpa kusadari, jauh di relung hati. Rasa itu mulai memupuk asa
serta harap padanya. Sosok itu … sosok yang kukagumi dalam diam.
*---*---*
Katanya, jika kita mencintai seseorang karena ia hebat. Itu bukan
cinta, tapi rasa kagum. Katanya, jika kita mencintai seseorang karena ia banyak
melakukan hal baik untuk kita. Itu bukan cinta, tapi rasa terima kasih. Meski
orang lain berkata itu bukanlah cinta sejati. Tapi bagiku, seiring waktu
berjalan. Rasa kagum dan terima kasih itu bisa jadi mewujud cinta tanpa syarat.
Yang tak membutuhkan alasan apapun untuk mencintai apa yang ia cintai.
Bulir bening membasahi pipiku tanpa kupinta. Kenapa aku menangis?
Hatiku bahkan bertanya-tanya hal apa yang berhasil membuatku menangis.
“Rifqi diturunkan dari jabatannya,” jelas Melita.
Bagaimana bisa? Kesalahan sebesar apa yang membuatnya diturunkan
dari jabatannya sebagai ketua bagian
penerangan dan informasi?
“Ada masalah apa, Mel?”
“Aku juga nggak tahu pasti. Yang aku tahu, dia turun sejak sebelum
ujian gelombang pertama berlangsung.”
Lantas tanpa aba-aba, kristal bening itu jatuh begitu saja.
“Tak perlu kata untuk mengungkapkan sebuah rasa, Al. Bahkan,
airmata mampu membahasakan rasa jauh lebih tepat, daripada sekedar untaian
kata.”
*---*---*
Awalnya aku kira, teori itu hanya omong kosong belaka. Hakikat
cinta adalah melepaskan. Melepaskan? Apa itu artinya menjaga jarak, menjauh
lantas pergi jauh dalam artian yang sebenarnya? Bagaimana mungkin seseorang
lari dari cinta? Lari dari rasa yang telah bertahun-tahun memenuhi relungnya. Namun detik ini, sesuatu yang sempat kukira hoax
itu justru terjadi di depan mataku.
“Maafin Rifqi, Alya. Mungkin setelah ini … Rifqi nggak bakal kontak
Alya lagi. Rifqi nggak bisa pastiin sampai kapan. Bisa jadi sebentar, atau
mungkin selamanya. Jadi, mungkin lebih baik kalau Alya segera ngelupain Rifqi.”
Kata-kata dari sosok di hadapanku sukses membuatku terdiam.
“Tapi kenapa, Rif?”
“Rifqi ingin fokus. Dan Rifqi nggak mau fokusnya Alya terpecah
gara-gara Rifqi. Rifqi nggak mau jadi penghalang Alya untuk meraih cita-cita.”
“Rifqi nggak mau Alya
terlanjur berharap. Sedangkan Rifqi sendiri belum tentu bisa ngewujudin harapan
itu. Rifqi nggak mau nyakitin Alya.”
Aku hanya bisa menunduk. Tak sepatah kata pun mampu kuucap. Sosok
di hadapanku benar-benar tak bisa ditebak.
“Satu lagi, Alya. Jangan pernah nunggu Rifqi. Karena mungkin, Rifqi
nggak akan pernah kembali.”
Bulir bening jatuh membasahi pipiku tanpa bisa kucegah.
*---*---*
Malam ini, seluruh emosi yang tersimpan rapi tak lagi dapat
menyembunyikan sosoknya. Akhirnya setelah sekian lama, bulir hangat itu jatuh
juga. Tak hanya membasahi pipi namun juga memenuhi relung hati.
Entah mengapa, airmata ini selalu menggenang
saat teringat dirinya. Sesak oleh
rindu, kah? Bukan ... bagiku saat ini, mengenang seorang Rifqi
bukanlah hal yang menyesakkan atau menyakitkan lagi. Namun, bukankah kerinduan dan kenangan itu senantiasa
selaras? Persis seperti hujan, berawal dari rintik,
disusul gerimis lantas melebat segera. Seperti
itulah, kenangan itu datang . Awalnya satu, lantas disusul memori lain
tentangnya. Tak ketinggalan rindu pun ikut mengiringi tiap slidenya.
Aku merindukanmu, Rif. Namun aku bisa
apa? Aku hanya bisa pasrah seperti hujan,
yang dengan rela menjatuhkan dirinya di atas bumi. Juga
kerinduan serta kenangan itu, aku hanya bisa membiarkannya mengalir. Mengisi setiap memori, serta relung hati.
Mungkin,
sosoknya bisa saja menghilang dari kehidupanku. Bisa jadi, memori tentangnya
dalam benakku ikut terhapus bersama kepergiannya. Tapi, aku tidak akan pernah
bisa benar-benar melupakannya. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya? Aku
takkan pernah bisa lupa, siapa sosok yang menginspirasi setiap kisah dan tokoh
yang kutulis sendiri.
Aku
takkan pernah bisa melupakanmu, Rif. Karena menulis, adalah caraku untuk
mengenangmu. Mengukir karaktermu dalam relung hati, lantas membacanya kembali
dalam balutan rindu. Jadi, maafkan aku tak bisa menepati janjiku untuk
melupakanmu. Karena dirimu selalu ada, dibalik goresan penaku.
Komentar
Posting Komentar