Identitas Santri
Liburan
yang ditunggu-tunggu pun tiba. Setelah hanya bisa ‘gigit jari’ melihat kembang
api tahun baru dari balik tembok ma’had dengan setumpuk buku menghadapi ujian,
akhirnya hari kebebasan itu datang. Hilang semua penat setelah berminggu-minggu
berkutat dengan berlembar-lembar buku dan soal. Lagi pula, siapa yang tak
senang liburan?
Begitu
pula dengan santri kita yang satu ini. Kebebasan dari segala peraturan yang
mengekang sudah terbayang di pelupuk mata. Beribu planning liburan telah
tersusun rapi. Dengan semangat, Santri kita melangkah meninggalkan ma’hadnya
untuk berlibur. Sebut saja ia, Rizky . Rizky dan teman-teman seangkatannya
berencana untuk jalan ke sebuah mall di kotanya.
Singkat
cerita, setelah asyik bermain di mall tersebut mereka pun pulang.Di angkot,
mereka asyik ngobrol. Tiba-tiba, salah seorang penumpang bertanya pada mereka.
“Sekolah di mana, dik?”
Keceriaan
mereka lenyap seketika demi mendengar pertanyaan itu. Mereka saling pandang, sedikit
menimbang akan seperti apa jawaban yang akan didapat sang penanya tadi.
Akhirnya, setelah beberapa lama, salah satu dari mereka angkat suara.
“Di pesantren, pak…”
* * *
Nah, friends…pernah nggak
mengalami kejadian seperti di atas?Ketika ada seseorang yang bertanya, tentang
status kesantrian kita, maka apakah jawaban kita?Mengangguk dengan mantap dan
pasti, atau justru hanya tertunduk malu tak mau mengakui?
Pertanyaan besar muncul
karena kasus yang satu ini. Kebanyakan para santri, tidak mau mengakui
identitasnya sebagai santri. Pertanyaan besarnya adalah: MENGAPA?
Mengapa
kebanyakan dari kita tak mau mengakui status kita sebagai seorang santri?
Ada dua kemungkinan atas
pertanyaan ini. Pertama, mungkin saja si santri malu mengakui identitasnya
sebagai santri, karena merasa perilaku serta akhlaknya belum pantas dilihat
sebagai santri. Kedua, mungkin saja si santri malu mengakui identitasnya
sebagai santri, karena takut di sangka kuper, gaptek, kampungan dsb…
Nah, kalau dirimu termasuk
seorang santri yang malu mengakui kesantriannya karena merasa belum menjadi
santri seutuhnya, ada baiknya kita memperbaiki akhlak serta tingkah laku kita.
Karena, seorang santri adalah cermin bagi masyarakat sekitarnya. Dan ingat,
kemana pun kita melangkah nama besar pesantren selalu ada di pundak kita.
Dan kalau ternyata kita
termasuk seseorang yang malu mengakui kesantriannya karena takut di sangka
kuper, gaptek, dan beragam sebutan tak mengenakkan lainnya, ada baiknya kita
intropeksi diri kembali. Tak semua hal di pesantren itu, buruk. Ada banyak hal
yang kita dapatkan di pesantren yang belum tentu bisa kita dapatkan di luar
pesantren. Memang di beberapa bidang, kita mungkin agak tertinggal ketimbang
yang lain. Tapi justru lebih banyak hal yang membuat kita unggul dan memiliki
nilai plus di mata masyarakat.
Di balik semua itu, adakah
santri yang saat liburan dengan bangga memperkenalkan dirinya sebagai seorang
santri?Ada! dan santri yang seperti itu mudah di jumpai karena jumlahnya memang
banyak. Tapi di sisi lain, berapa banyak santri yang tiba-tiba berubah ketika
liburan?Tak mau mengakui identitasnya sebagai santri dan malah bertingkah laku
jauh dari etika pesantren.
Dimanapun kita berada, kita
tetaplah santri. Status kita tidak akan berubah begitu saja hanya karena
liburan beberapa hari. Kita tetaplah santri, maka dari itu jagalah sikap kita
dimanapun kita berada. Karena setiap langkah kita, membawa nama besar ma’had
kita. Setiap perilaku kita menentukan nama baik ma’had tempat kita menuntut ilmu.
Nah, friends…seharusnya
kita bangga menjadi seorang santri. Bangga dengan semua pendidikan yang kita
dapatkan dari ma’had tercinta ini serta bangga akan semua wawasan yang kita
dapatkan di ma’had ini. Seorang santri akan menyadari bahwa dirinya santri hanya
jika ia percaya diri untuk mengatakan dirinya itu santri. Perilakunya pun, akan
mengikuti pengakuan lisan dan hatinya. Dan, ketika ia bangga akan
kesantriannya, maka ia akan bangga pada pesantrennya sendiri. Tidak menolah ke
sekolah lain, meski ada banyak berita yang masuk ketelinganya.
Satu
hal yang harus di tanamkan dalam jiwa dan fikiran kita,
“Jangan pernah bertanya apa yang telah pesantren berikan pada
kita.Tapi, tanyalah apa yang telah kita berikan untuk pesantren”
Komentar
Posting Komentar