Sekeping Rindu


Terkadang, perpisahan itu menyakitkan.
Terkadang, kerinduan itu menyiksa.
Tapi, pantaskah menyesali sebuah pertemuan?
            Aku menghela nafas. Mencoba mengusir rasa sesak yang menyelinap di hati. Rasa yang menggedor-gedor benteng hati ini demikian kuatnya. Rasa yang menyelinap tanpa permisi, datang begitu saja bersemayam di hati. Rindu? Benarkah  rasa itu? Ah, siapa aku sehingga berani merindukan sosoknya. Tapi, sungguh…aku merindukan sosoknya, suaranya, sikapnya, dan senyuman tipisnya.
            Mengapa kerinduan itu begitu menyergap saat hati ini ingin melupakan? Dan tak terhitung lagi keinginan melupakan saat hati ini dilanda kerinduan? Hufft, rindu…..semakin mencoba berpaling darinya semakin diri ini tenggelam dalam rasa itu. Aku pun tak tau lagi bagaimana caranya menahan gejolak yang menggedor-gedor hati ini demikian kuatnya. Diriku pun tak mengerti bagaimana harusnya kuungkapkan kerinduan ini. Pada siapa harus kuadukan rasa ini? Rasa yang terpendam sejak awal kita bertemu, hingga kita berpisah. Haruskah engkau mengetahuinya? Memori dalam benakku berputar. Mencoba mengais kenangan indah itu.
*-----*-----*
            Tepuk tangan meriah terdengar dari seluruh penjuru auditorium. Sosok di atas panggung benar-benar berhasil memikat para penonton. Dengan gaya bahasa yang komunikatif serta pembawaan yang atraktif dan friendly, sosok itu telah sukses membuat seisi auditorium berdecak kagum. Tak terkecuali diriku. Sebersit kekaguman semakin tumbuh bersemi dalam hatiku. Sosok itu memang hebat. Tak hanya berprestasi di akademik, ia juga cemerlang di organisasi dan ekstrakulikuler. He’s almost perfect. Lagi pula, siapa yang tak mengenal seorang Akhyaril Azzam? Sekretaris OSIS yang aktif menjadi penyiar di radio FATH F.M, serta pimpinan redaksi ‘Fatih Ulum’, majalah sekolah. Pembicara hebat, berwawasan luas, ramah dan gampang bergaul. Pantas saja, ia menempati posisi-posisi penting nan strategis di beberapa ekstrakulikuler dan organisasi.
            Mataku masih memperhatikan sosok itu yang kini menuruni panggung dan disambut oleh beberapa peserta. Sosok itu, mengedarkan pandangannya ke arah penonton, seperti mencari seseorang. Tatapan itu berhenti di deretan dimana aku duduk. Ia memperhatikan satu persatu. Dan tiba-tiba…tatapannya bertemu denganku. Ia tersenyum tipis. Senyuman yang sukses meruntuhkan benteng hatiku. Aku membalas senyumnya. Ia pun segera duduk. Aku menghela nafas. Semua mata kini tertuju padaku.
*-----*-----*
“Rachma!”                                                                                                   
Aku mempercepat langkah. Tak menghiraukan panggilan itu. Langkah kaki setengah berlari menyusulku dari belakang. Seseorang yang amat familiar berjalan di sampingku, berusaha menyamai langkah.
“Thanks atas bukunya ya, Rah,” ujar sosok itu sambil mengangsurkan buku yang ia maksud.
Aku mengangkat pandanganku. Dengan masih mengenakan jas rapi, Kak Azzam tersenyum tipis. Aku langsung mengambil buku dari tangannya.
“Sama-sama, Kak.”
“Gimana penampilan Kakak tadi, bagus kan?”
“Hmm… bagus nggak ya, kok ada nada sombong gitu di pertanyaannya?”
Sosok itu tertawa kecil.”ya, sekali-sekali, Rah. Nggak ada niat buat sombong, kok. Cuma minta pengakuan dari kamu aja,” ledeknya
“Pengakuan apa…lagi, absurd deh, Kak.”
“Oh, iya. Rapat minggu ini tolong kamu yang pimpin, ya. Terus, minggu depan ada seminar kepenulisan di Hotel Cempaka, semua anggota redaksi ikut, tolong kamu buat pengumumannya. Nanti Kakak email undangannya. Well, Kakak minta dibebas tugasin, minggu ini, lagi sibuk di FATH F.M,” ujar Kak Azzam ringan, nyaris tanpa beban.
Aku menghentikan langkah. Mulai, deh pengalihan tugas beruntun, pikirku
“Yaaah, Kak…. Jadi semuanya Rachma yang handle sendirian, nih? Yang PimRed siapa, sih,” sahutku sebal
Kak Azzam hanya tersenyum tipis.”itulah gunanya wakil, Rah. Lagian, nggak setiap minggu juga kamu begini. Sekali ini saja, jadwal di radio lagi benar-benar padat, nih,”ujarnya dengan nada memohon.
Aku menghela nafas.”oke, tapi untuk minggu ini saja, ya,” sahutku setuju.
Senyuman di wajah Kak Azzam sempurna terkembang.
“Thanks, my own partner! Nanti ada bonus, deh dari Kakak,” katanya sambil bergegas ke ruang FATH F.M.
*-----*-----*
“Selamat sore pemirsa, kembali lagi di acara ‘Remaja Yang Berkarya’ di FATH F.M 16,27 saluran anak muda,”
Suara bening yang khas menyapa dari radio handphoneku. FATH F.M memang hanya sebuah radio sekolah, tapi sepak terjangnya sudah membooming ke seantero kota Bandung. Saluran radio sekolah yang memenangkan Best Broadcasting Award dari RRI Bandung karena siaran-siarannya yang edukatif dan inspiratif. Semua itu, tak terlepas dari kegigihan Kak Azzam dan rekan-rekannya yang siang-malam berjuang demi penyiaran yang bagus dan berkualitas. Karena itulah, aku sering tak tega menolak permintaan tolongnya saat berkaitan dengan FATH F.M. Bagi Kak Azzam, FATH F.M adalah segalanya.
 Suara Kak Azzam terdengar bersemangat membawakan profil remaja inspiratif sore ini. Aku jadi teringat percakapan singkatku dengannya beberapa waktu lalu di ruang redaksi. Saat itu, Kak Azzam sedang sibuk mencari narasumber untuk acaranya. Aku nyeletuk kenapa bukan dirinya saja yang diwawancarai, bukankah Kak Azzam juga punya banyak prestasi? Ia hanya tersenyum tipis, lalu berkata ia bukanlah apa-apa, prestasinya pun tak seberapa, masih banyak orang yang lebih pantas diangkat  profilnya. Sungguh, saat itu, aku semakin kagum akan kerendahan hatinya.
“Ada kiriman salam, nih. Dari PimRed ‘Fatih Ulum’ untuk wakilnya. Selamat menghandle tugas-tugas redaksi selama seminggu ini,”
Suara itu membuatku ingin menjitak si pemilik suara.
*-----*-----*
Langit pagi yang cerah tak mampu membuat suasana hatiku seperti keadaannya.
Mengapa hati ini terasa muram? Bukankah seharusnya aku ikut bahagia? Lalu mengapa justru tangisan tanpa suara yang mengisi setiap relungnya?
            Hari ini adalah hari kelulusan angkatan ke-24. Angkatan yang penuh prestasi dan kebanggaan, walaupun banyak orang yang awalnya meragukan mereka. Dan, kini…tibalah hari yang ditunggu-tunggu oleh semua calon alumni. Namun, tak sanggup kubayangkan sejak seminggu yang lalu. Kelulusan…itu artinya aku takkan bisa bertemu lagi dengan sosok Kak Azzam yang seru diajak diskusi, sosoknya yang asyik tapi menyebalkan, yang senang mengalihkan segala tugas redaksi padaku, memberikan reward pada anggotanya, dan aku bahkan takkan bisa mendengarkan sapaan hangat suara lembutnya di FATH F.M lagi. Entah mengapa, hatiku rasanya benar-benar takut akan kehilangan sosoknya.
“Doakan Kakak ya, Rah,” sapaan lembut itu menyadarkanku dari lamunan
Aku tersenyum tipis.”Jangan sibuk motoin kangguru di sana,” sahutku
Ia tertawa kecil.”Enggaklah, adanya sibuk mikirin kamu, Rah. PimRed yang ceroboh,”ujarnya.
Aku memasang ekspresi sebal. Kak Azzam tertawa lepas. Lalu, melambaikan tangannya
*-----*-----*
Kenangan itu mengalir seperti tetesan hujan yang jatuh di luar sana. Sungguh, hati ini begitu merindukan sosoknya. Sosoknya yang kini tengah berada di lain benua, demi menempuh pendidikannya di sana. Bukanlah perpisahan yang membuatku menangis, tapi kerinduanlah yang membuatku bersedih. Meskipun perpisahan ini begitu menyakitkan, bahkan kerinduan ini pun menyiksa, biarlah aku menyimpan sekeping rindu ini, di sudut hati ini, untuk mengenangmu…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Remah Jejak

Menjaganya Untukku