Institut Pengabdian Untuk Almamater
“Kamu
kuliah di mana, Dan?”
Pertanyaan
dengan nada simpatik itu, berhasil membuat senyuman di wajah Hamdan terkembang
sempurna.
“Aku
kuliah di Institut Pengabdian untuk Almamater,” jawabnya singkat namun penuh
keyakinan.
“Di
mana tuh?” tanya Farhan dengan alis berkerut, heran
“Di
Almamater tercinta, lah.”
“Loh,
emang udah ada kampus di sana?” Farhan
bertanya lagi, heran.
Hamdan tertawa melihat ekspresi Farhan yang
kebingungan.
“Maksudku,
tahun ini aku nggak kuliah, tapi ngabdi dulu di pondok.”
“Kamu
ngabdi, Dan?” kali ini Raffi yang bertanya, dengan nada tak kalah heran.
Hamdan
mengangguk mantap.”Iya, aku ngabdi dulu
tahun ini,”
“Apa
nggak sayang tuh umur? Berarti kamu telat kuliah dua semester dong, dari
kita-kita?” ujar Raffi yang lebih tepat sebagai pernyataan daripada pertanyaan.
“Apa
nggak bosen di pondok mulu, Dan? Udah enam tahun, juga. Masa mau nambah setahun
lagi,” sahut Farhan meledek.
Hamdan
hanya tersenyum melihat reaksi
teman-temannya.
“Nggak
ada ruginya ngeluangin waktu setahun lagi buat ngabdi di pondok. Apalagi, nggak
semua orang dipilih buat ngabdi. Pengabdian itu menyempurnakan proses kita
menuntut ilmu, belajar mengamalkan ilmu
yang kita punya. Mengajarkannya pada orang lain. Ilmu kan punya hak buat diamalkan, nggak cuma
disimpan buat diri sendiri aja,”
“Emang
ngabdinya wajib, ya?” tanya Farhan.
“Sebenernya
kalau mau, bisa aja sih nolak. Tapi kenapa harus nolak kalau kita bisa
ngelaksanain tugas itu? Hitung-hitung persiapan mengabdikan diri buat
masyarakat, makanya latihan dulu di pondok,”
“Tapi,
sayang aja, Dan. Kamu kan, punya potensi. Punya prestasi bagus di akademik.
Istilahnya nih, kamu tinggal nunjuk aja mau masuk universitas mana, langsung
deh tembus!” sahut Raffi
“Iya,
Dan. Bukannya kamu beasiswa terus ya, tiga tahun terakhir? Malah jadi juara
umum di wisuda akhir kemarin. Kalau kamu mau ngambil SNMPTN, universitas
ternama manapun tembus, Dan!” ujar Farhan menimpali.
Hamdan
hanya bisa terdiam. Sebersit keraguan kembali menyambangi hatinya. Mungkin apa
yang dikatakan teman-temannya ada benarnya. Bukankah tahun-tahun terakhirnya di
pondok amat penuh prestasi? dan dengan prestasi-prestasinya yang segudang itu,
dia bisa saja menolak penugasan pengabdian dan memilih untuk masuk universitas
yang ia impikan.
“Ini
bukan soal punya prestasi atau nggak. Bukan juga soal potensi masuk universitas ternama. Tapi ini soal
pilihan, soal keikhlasan. Pengabdian itu pilihan, bukan pemaksaan. Menjalani
tugas dengan ikhlas juga pilihan, bukan kewajiban. Jadi, kenapa harus menjalani
penugasan dengan paksaan kalau bisa menjalaninya dengan ikhlas?”
Raffi
menepuk pundak Hamdan penuh salut. Kagum pada keputusan berani yang diputuskan
sahabatnya itu.
“Kalau
boleh tahu, apa alasan kamu milih buat ngabdi, Dan?”
“Aku
ngerasa belum ngasih apa-apa buat pondok. Ngerasa belum ngasih kontribusi yang
berarti selama dulu jadi santri . Bisanya ngelanggar, bikin malu pondok. Dan
menurutku, inilah kesempatan untuk menebus semua itu. Pengabdian inilah kesempatanku
untuk mengangkat nama baik pondok, mengharumkan almamater yang udah ngedidik
aku sampai bisa jadi seperti ini. “
“Okelah,
nggak ada yang bisa ngehalangin seorang Hamdan Fauzan kalau udah bertekad bulat
kayak gini. Sukses aja, deh buat pengabdiannya,” ujar Farhan penuh kagum.
“Kalian
juga. Semoga sukses kuliahnya. Studinya
jangan males-malesan, nanti kekejar loh sama junior jenius kayak aku,” sahut
Hamdan usil.
“Huu,
sombong!” ledek Raffi sambil meninju pundak Hamdan pelan.
Hamdan
tertawa lepas. Ia mengedarkan
pandangannya ke ufuk langit yang mulai memerah saga.
Tak
sedetik pun keraguan tersisa di relung hatinya. Kini, ia benar-benar yakin pada
keputusannya. Bukankah alasan utama kita ada di dunia adalah untuk mengabdi?
Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku
(Q.S.
Adz-Dzariyat 56)
Komentar
Posting Komentar