Postingan

Institut Pengabdian Untuk Almamater

“Kamu kuliah di mana, Dan?” Pertanyaan dengan nada simpatik itu, berhasil membuat senyuman di wajah Hamdan terkembang sempurna. “Aku kuliah di Institut Pengabdian untuk Almamater,” jawabnya singkat namun penuh keyakinan. “Di mana tuh?” tanya Farhan dengan alis berkerut, heran “Di Almamater tercinta, lah.” “Loh, emang udah ada kampus   di sana?” Farhan bertanya lagi, heran. Hamdan   tertawa melihat ekspresi Farhan yang kebingungan. “Maksudku, tahun ini aku nggak kuliah, tapi ngabdi dulu di pondok.” “Kamu ngabdi, Dan?” kali ini Raffi yang bertanya, dengan nada tak kalah heran. Hamdan   mengangguk mantap.”Iya, aku ngabdi dulu tahun ini,” “Apa nggak sayang tuh umur? Berarti kamu telat kuliah dua semester dong, dari kita-kita?” ujar Raffi yang lebih tepat sebagai pernyataan daripada pertanyaan. “Apa nggak bosen di pondok mulu, Dan? Udah enam tahun, juga. Masa mau nambah setahun lagi,” sahut Farhan meledek. Hamdan   hanya tersenyum melihat

Remah Jejak

  Awalnya, kukira seseorang yang tertangkap kamera mengenakan kaos putih bersablon 'Semut Ibrahim', hanya kebetulan memakai kaos itu. Tak terbetik sedikitpun bahwa Semut Ibrahim adalah sebuah komunitas. Aku pun, hanya terhitung ikut-ikutan membagikan foto yang jadi viral tersebut. Sampai salah seorang seniorku di Komunitas Bisa Menulis memberitahu. Aku tergerak ingin mencari tahu. Bukankah filosofi Semut Ibrahim itu sangat menggugah? .   Si semut kecil yang bersusah payah membawa setetes air menuju api yang membakar Nabi Ibrahim. Meski ia dicibir burung karena perbuatannya dianggap tak memberikan pengaruh apapun. Apa jawaban semut? . "Aku tahu apa yang kulakukan ini mungkin tak begitu berarti. Namun setidaknya, aku bisa menjawab jika kelak Allah bertanya ; apa yang kau lakukan saat melihat Nabi Ibrahim dibakar?" . Betapa usaha kita, sekecil apapun tetap memiliki nilai kebaikan di sisi Allah. Meski mungkin yang kita lakukan hanya sebuah remah, setidaknya kita bis

Goresan Kenangan

Gerakan tanganku terhenti. Aku menghela napas. Mencoba mencegah airmata yang hendak tumpah. Ah, entah mengapa aku tak pernah sanggup menggoreskan pena tentangnya. Padahal, sudah berpuluh-puluh tokoh terlahir dari karakternya. Bahkan hampir selusin novel terinspirasi dari sosoknya. Tapi entah mengapa, aku tak kuasa menuliskan kisahku dan dirinya. Dirinya yang terukir rapi dalam palung hati. Sosok yang memasung relung ini hingga bertekuk lutut dalam gulungan rindu.   Laksana hujan yang jatuh pasrah ke bumi. Awalnya rintik, disusul gerimis lantas melebat syahdu. Seperti itulah kenangan kini menderaku. Begitu sesak untuk ditahan. Begitu mendesak untuk ditumpahkan. Maka kini … meski berderai air mata, izinkanlah goresan ini menuliskan kisah tentangnya. Sosok yang kini amat kurindukan kehadirannya … *---*---* Jika orang yang jatuh cinta bisa memilih, maka ia pasti akan memilih untuk tidak jatuh cinta. Tapi sayangnya, kita tak bisa memilih kapan juga pada siapa kita jatuh cinta. Ci

Sekeping Rindu

Terkadang, perpisahan itu menyakitkan. Terkadang, kerinduan itu menyiksa. Tapi, pantaskah menyesali sebuah pertemuan?             Aku menghela nafas. Mencoba mengusir rasa sesak yang menyelinap di hati. Rasa yang menggedor-gedor benteng hati ini demikian kuatnya. Rasa yang menyelinap tanpa permisi, datang begitu saja bersemayam di hati. Rindu? Benarkah   rasa itu? Ah, siapa aku sehingga berani merindukan sosoknya. Tapi, sungguh…aku merindukan sosoknya, suaranya, sikapnya, dan senyuman tipisnya.             Mengapa kerinduan itu begitu menyergap saat hati ini ingin melupakan? Dan tak terhitung lagi keinginan melupakan saat hati ini dilanda kerinduan? Hufft, rindu…..semakin mencoba berpaling darinya semakin diri ini tenggelam dalam rasa itu. Aku pun tak tau lagi bagaimana caranya menahan gejolak yang menggedor-gedor hati ini demikian kuatnya. Diriku pun tak mengerti bagaimana harusnya kuungkapkan kerinduan ini. Pada siapa harus kuadukan rasa ini? Rasa yang terpendam sejak aw